DENPASAR - Dalam acara Hybrid Event 1st International Conference on Cultural and Spiritual Psychiatry (ICOSPI), Bali Psikiatri Terkini 3 (The 3rd Bali Psychiatry Update) dengan tema,
'Investing in Mental Health: Moving Forward To Break The Pandemic World'
Yang bisa diartikan Berinvestasi dalam Kesehatan Mental: Bergerak kedepan Untuk Memecahkan Dunia pasca Pandemi.
Acara yang diawali dengan kegiatan Workshop secara luring sejumlah 7 workshop, dilanjutkan pada tanggal 23 September 2022 dengan Internationat Conference bertajuk 1st International Conference on Cultural and Spiritual Psychiatry (ICOSPI), yang menghadirkan pembicara dari beberapa negara, antara lain Italia, Kanada, Australia, USA, Belanda, dan Skotlandia.
Acara yang akan dilanjutkan dengan kegiatan hari ini dan besok 24-25 September 2022, yaitu Symposium Bali Psikiatri Terkini (BATIK) 3. Rangkaian kegiatan ini diikuti oleh sejumlah 237 peserta ICOSPI dan 444 peserta BATIK 3, dengan peserta yang mengikuti kegiatan ilmiah presentasi poster sebanyak 37 peserta, dan presentasi oral sebanyak 15 peserta.
Workshop Trauma pada Anak dan Remaja, dr. I Gusti Ayu Indah Ardani, SpKJ(K) dengan tema 'Mengenali Kekerasan pada Anak dan Penatalaksaan Trauma', kekerasan terhadap anak adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.
Perlindungan ini juga diatur dalam Undang-undang nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Dalam paparannya jenis kekerasan yang disebutkan pada undang-undang ini sama dengan yang terdapat pada Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5)
"abuse and neglect".
Anak seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Children's Emergency Fund (UNICEF) tahun 2015 menyebutkan kekerasan terhadap anak terjadi secara luas di Indonesia, yakni 40% anak berusia 13-15 tahun pernah diserang secara fisik sedikitnya satu kali dalam setahun.
26% melaporkan pernah mendapat hukuman fisik dari orang tua atau pengasuh di rumah, 50% anak melaporkan di-bully di sekolah.
Sedangkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2011-2018 tentang kasus pengaduan anak terbanyak adalah Anak Berhadapan Hukum, disusul dengan pengaduan dalam bidang keluarga dan pengasuhan; pendidikan; pornografi dan cyber dan crime; kesehatan dan NAPZA; trafficking dan eksploitasi; agama dan budaya; sosial dan anak dalam situasi darurat; serta hak sipil dan partisipasi.
Dalam Etiologi Kekerasan fisik berkaitan erat dengan situasi kemiskinan dan stres, psikososial, terutama stres finansial. Kekerasan pada anak cenderung terjadi pada keluarga yang memiliki banyak masalah, misalnya pada keluarga yang terdapat kekerasan rumah tangga, isolasi sosial, gangguan jiwa pada orangtua, serta penyalahgunaan zat pada orangtua, terutama pemakaian alkohol.
"Risiko kekerasan pada anak juga meningkat pada keluarga dengan jumlah anak yang lebih banyak, "papar dr. Ayu Indah.
Diagnosis dan Gambaran Klinis, anak-anak yang mengalami kekerasan dapat bereaksi secara emosional, perilaku, maupun somatik. Gejala psikologis tidak spesifik dan tidak patognomonik, yaitu bahwa gejala yang sama juga dapat terjadi tanpa riwayat adanya kekerasan.
Gejala psikologis yang terdapat pada anak yang mengalami kekerasan dapat dikelompokkan menjadi beberapa pola klinis. meskipun bukan merupakan kriteria diagnosis kekerasan pada anak.
"Diagnosis dan Gambaran Klinisnya, sekitar sepertiga anak yang mengalami kekerasan seksual tidak menunjukkan adanya gejala-gejala tersebut di atas dan sebagian besar individu dewasa yang mengalami kekerasan pada masa kanak tidak memiliki gejala terkait kekerasan, "paparnya serius.
Faktor-faktor yang yang berhubungan dengan beratnya gejala pada korban kekerasan seksual adalah frekuensi dan durasi kekerasan yang lebih besar, kekerasan seksual berupa penetrasi paksa, dan kekerasan seksual yang dilakukan oleh ayah kandung atau ayah tiri.
Ia juga memaparkan dampak dari kekerasan pada anak, Survei Kekerasan pada Anak (SKTA) tahun 2013 menunjukkan bahwa dampak kekerasan pada kelompok umur 18-24 tahun yang mengalami kekerasan sebelum usia 18 tahun relatif berbeda pada laki-laki dan perempuan.
"Perempuan cenderung untuk merokok (13, 2%), menyakiti diri sendiri narkoba (13%), mabuk (12%), terpikir bunuh diri (11%), dan memakai (6, 09%). Dampak pada laki-laki adalah merokok (46, 6%), perilaku destruktif (27, 6%), dan mabuk (25, 8%)"
"Pencegahannya adalah memastikan keselamatan dan kesejahteraan anak. Pemeriksaan psikiatri penting dilakukan karena anak korban kekerasan berisiko tinggi mengalami gejala psikiatri"
Psikoterapi disebutkannya juga bertujuan untuk mengatasi ketakutan dan kecemasan, serta membangun kepercayaan diri; membangun hubungan terpercaya dengan terapis dimana anak tidak merasa dieksploitasi atau dikhianati; dan memperoleh perspektif tentang faktor-faktor yang menyebabkan anak menjadi korban kekerasan.
Psikoterapi yang digunakan dapat berupa psikoterapi individu, kelompok, atau keduanya. Anak yang tidak memiliki gejala pasca trauma mungkin cukup memerlukan beberapa sesi konseling berupa psikoedukasi dan strategi antisipasi untuk mengenali masalah di masa mendatang.
"Anak korban kekerasan yang memiliki gejala psikologis ringan sampai sedang memerlukan terapi kognitif-perilaku yang memiliki empat komponen, yaitu psikoedukasi, manajemen kecemasan, terapi paparan (exposure), dan terapi kognitif, "pungkasnya. (Tim)